“Buk, maringene aku wisuda..”

Salah satu postulat hidup yang saya kunyah renyah sampai saat ini adalah konsep “sekali seumur hidup”.

Dulu, dan bahkan sampai sekarang, banyak orang yang menganggap bahwa prosesi wisuda adalah momen sekali seumur hidup. Saat (mungkin) kita berseloroh pada dunia dengan lantang tentang betapa berdayanya kita setelah ditempa di kampus yang diampu sivitas akademika. Ketika air mata orang tua mulai menyelinap keluar diam-diam, rindu bertemu rasa bangga. Waktu ketika setiap belasan menit sangat pas untuk dibingkai memori kamera berlensakan telanjang mata. Momen untuk dikenang, mungkin sampai sepanjang masa.

Namun sekarang, wisuda mulai turun kasta. Dia ada dimana-mana, di jenjang apa saja. Jadi, air mata yang menyelinap tadi sekarang mulai enggan keluar. Karena rasa bangga sekarang tidak terlalu spesial. Rasanya juga sekarang ini terlalu banyak yang terekam kamera. Dan karena terbiasa hidup dalam alunan bahagia yang semakin banyak itu tadi, membuat orang mengurangi tuntutan mereka terhadap perjuangan.

Maka, mungkin yang berharga bukanlah wisuda atau kelulusan. Mungkin, itu adalah perjuangan.

*masih memikirkan cerita tentang seseorang yang kehilangan ibunya. Ibunya yang mendamba kelulusan dan wisuda. Sampai hembus nafas akhirnya.

Leave a comment