Sapu Jagad

Beberapa kali orang bilang saya idealis. Bahkan terlalu idealis. Tapi, saya cuek. Karena menurut saya semua orang itu idealis. Tapi dengan ide atau gagasannya masing-masing.

Mungkin, sebagaimana seringkali terpasung di pemahaman kita, konstruksi sosial budaya kita tentang idealisme dan idealis menjadikan seorang idealis sangat jauh dari bumi dan orang-orang yang hidup di permukaannya. Seorang idealis hanya bersahabat dengan langit dan kebaikan-kebaikan surgawi. Oleh karenanya, dunia seorang idealis seringkali punya jarak –dan bahkan sangat jauh- dengan dunia manusia -yang katanya lebih realistis-. Singkatnya, ideal berarti tidak nyata (riil/real). Karena tidak nyata, gagasan bahwa “hidup adalah mati dan mati adalah hidup” terkadang menjadi tidak realistis.

Tapi, bukankah kenyataan terbentuk dari ide dan gagasan manusia? Sederhananya, kita ini hidup di dalam ide/gagasan orang lain akan kehidupan. Atau kita punya pilihan lain. Kita bisa berusaha untuk menciptakan kehidupan sesuai dengan ide/gagasan kita. Hemat saya, sebenarnya orang idealis atau bukan itu berbeda sangat tipis sekali. Letak perbedaannya terangkum dalam satu kata, yakni “keberanian”. Maka ciri pertama, dan bahkan mungkin stereotipikal oleh masyarakat, orang idealis adalah dia memiliki keberanian untuk menjamah ranah praksis dari ide/gagasan/konsep yang dia yakini ada/eksis. Mari kita baca sejarah perjalanan perjuangan tokoh-tokoh besar Indonesia dan mancanegara. Mereka adalah idealis. Bahkan ide/gagasan mereka melampaui zaman mereka sendiri. Mereka yang membentuk kehidupan, dan mereka memimpin kehidupan ini diarahkan kemana.

Saya juga tidak tahu persis, kenapa dan kapan masyarakat memiliki pola pikir seakan-akan idealisme itu sangat tidak kompatibel dengan kehidupan orang-orang bumi. Seakan-akan seorang idealis tidak bisa hidup dalam kehidupan yang realistis dan kalaupun bisa hidup dan berjuang, pasti berakhir bak tragedi. Satu hal tentang tragedi. Tragedi adalah genre yang dibenci oleh kebanyakan orang yang mengalaminya, tapi disukai oleh kebanyakan orang yang hanya membaca/melihatnya.

Kita, manusia, memang ditakdirkan menjadi bermacam-macam. Kita juga ditakdirkan memainkan peran masing-masing. Tidak bisa disamakan. Tengoklah sejarah kehidupan manusia pertama sampai abad ke dua puluh satu ini. Apakah peran kita semua sama dalam hidup yang fana?

Maka itulah yang saya percayai. Pendidikan tidak bisa disamaratakan. Ide dan gagasan masing-masing anak selalu dan pasti akan berbeda. Tidak heran jika semakin dewasa, anak-anak tersebut semakin menampakkan perbedaan masing-masing dari mereka. Bukankah penyakitnya justru ada di kita, para pendidik? Terutama yang selalu ingin menyamaratakan semua aspek dalam pendidikan.

Seseorang pernah berujar pada saya, bahwa kita tidak bisa memaksakan kehidupan kita kepada orang lain. Tepat. Seratus persen akurat. Maka dari itu, apa yang membuat saya menyukai seseorang adalah membanjirnya ide/gagasan dari orang tersebut. Orang yang memiliki ide/gagasan adalah orang yang berani hidup. Ia tidak mati dalam hidupnya, dan tidak berusaha menghidup-hidupkan matinya.

Begitu pula dengan predikat “sarjana”. Bukankah predikat ini adalah sesuatu yang istimewa? Bukankah predikat ini disematkan karena kita-kita ini “dianggap” sudah layak “terjun dan bekerja untuk masyarakat” karena sudah menerima dan membuat ide/gagasan-gagasan?

Lalu, kenapa kemiskinan masih ada? Apakah jangan-jangan, insan mulia yang tersemat predikat pendidikan tinggi tersebut justru sibuk keluar dari kemiskinan?

Sungguh, saya bukan hendak memaksakan pemikiran saya. Karena pemikiran kita ini hanya milik Yang Kuasa. Tapi, karena manusia memiliki peran dan kehidupan yang berbeda-beda, maka saya mencoba mengambil peran untuk memberikan pertanyaan kepada kita semua. Ya, peran saya hanya itu. Memberi pertanyaan. Yang seringkali, saya sendiri belum bisa menjawab dengan lugas.


Pak, keringatmu tiada yang tahu,

Bulir nasi yang kau suap ke mulut,

Satu..satu..,

Maksudnya, biar tenaga kembali tersulut

Maafkan kami, manusia yang kadang tersadar

Kadang terkapar

Kadang justru terlantar

Bapak adalah cerminan sahaja diri,

Kerja bapak dalam sepi,

Sungguh hanya disiapkan materi,

Tanpa dilebihkan apresiasi

Beruntunglah mereka yang ingat mati,

Karena kadang hidup itu kontradiksi,

Banjir ideasi,

Namun gersang aplikasi

Pak, kami pun kadang jengah,

Melihat manusia yang terlalu polah,

Tapi bersabarlah,

Selalu ingatlah,

Damaimu, lebih indah

*untuk bapak tukang sapu pinggir jalan raya, yang kerjanya sering terlupa oleh kita

Leave a comment