I think now i understand

Sekarang ini aku sangat menikmati ketika aku bangun pagi. Pagi sekali. Karena dengan begitu tidak banyak waktu yang terbuang. Harapannya juga tidak banyak menyisakan rasa penyesalan yang datang. Mulai dari membersihkan rumah, merawat kucing, sampai membuat kopi rutinitas pagi.

Sekarang aku juga sangat menikmati langkah jari-jari tanganku ketika membuka wajah laptop abu-abu. Sebelum booting, bahkan sudah terbayang kerja dan karya apa yang harus diselesaikan. Karena dengan begitu aku bisa melangkah lebih, menghasilkan lebih, dan memberi lebih. Harapannya juga tidak banyak rasa penyesalan yang kemudian datang. Mulai dari pekerjaan wajib, sampai untaian harapan kita.

Sekarang aku juga lebih menghargai “waktu makan” dan “waktu istirahat”. Kutunggu-tunggu bahkan. Karena dengan begitu aku tahu itu saatnya aku bertemu kamu. Jam makan siang, jam makan malam, jam pulang kantor. Konsep-konsep industrial yang sekarang aku menikmatinya. Harapannya aku bisa dengar semua ceritamu. Dan kau yang baik hati, selalu memberi ruang untuk ceritaku. Mulai dari cerita kita sampai cerita siapapun mereka yang kadang kita juga memikirkannya.

Tapi memang aku mengerti..

Aku takut kehabisan waktu. Aku tahu bahwa ketakutanku tidak akan bisa hilang hanya karena aku bangun pagi, aku berkawan dengan mesin ketik digital, dan mengenangmu. Karena aku tahu, aku bisa jadi salah satu penyesalan terbesar di hidupmu. Sesiap-siapnya aku menata hati.

Inilah aku yang kembali (sok) mengerti..

Pagiku adalah takutku (sebenarnya). Kawan mesin ketik ku mungkin pelampiasanku (setengahnya). Waktu makanku adalah lubang cacingku (khawatirnya).

“Sugeng dalu, sayangku”


Sidoarjo,
di waktu yang sebenarnya aku berharap bisa bercanda denganmu

Tahun Terakhir di Akhir Tahun

Kurang lebih sudah delapan tahun memelihara dan berusaha untuk mewujudkan kenaifan diri serta idealisme. Delapan tahun yang rasanya pun bermacam-macam. Ada manis, juga ada pahit. Tapi, saya belajar banyak. Salah satu pelajarannya mungkin adalah pelajaran untuk melepaskan sesuatu yang telah lama serasa digenggam.

Mengubah kolam lumpur. Begitu singkat cerita tujuan perjuangan selama delapan tahun. Saya rasa itu juga yang menjadi kesan pertama saya ketika sadar bahwa kolam lumpur ini bukan hanya kolam lumpur biasa, tapi kolam yang salah kelola dan akhirnya memberi ruang bagi lumpur-lumpur untuk semakin merajalela. Ekosistem yang ada di dalamnya pun terasa sangat lembam, keruh, dan membosankan. Waktu itu saya hanya berpikir, “lalu apa manfaatnya orang pada masuk kolam lumpur ini?”. Saya memberanikan diri untuk mewujudkan perubahan. Yang tentu saja, perubahan dimana-mana akan selalu terdapat kebisingan, resistensi, dan kelelahan.

Saya bersyukur, Tuhan dan semesta mempertemukan saya dengan kunang-kunang yang memiliki semangat dan daya juang yang sama. Karena bergerak bersama itu memang lebih bertenaga. Ada masanya memang lelah menguasai pikiran. Tapi, sampai sekarang pun ada kunang-kunang yang selalu hadir memberikan penerangan dalam gelap. Saya tentu saja senang dengan kehadiran kunang-kunang tersebut. Saya pun juga bangga terhadap mereka. Bahkan kalau boleh sangat dalam dan jujur merasa, saya sangat berterima kasih pada mereka. Mungkin tanpa mereka, lumpuh dan bersimpuh adalah nasib dari perjuangan ini.

Saya rasa, sekarang ini malam sudah akan berganti pagi. Dengan cahaya matahari membentuk horizon oranye di langit. Mungkin kaki ini sudah waktunya berhenti. Mungkin nafas ini tidak perlu lagi tersengal dan mendengus. Pun saya rasa, sudah terlalu lama saya berkubang lumpur, mungkin sampai lupa bahwa air keruhnya sudah perlahan jernih. Mungkin sampai lupa untuk bersyukur.

Ada satu kunang-kunang yang menarik perhatian saya. Dia selalu setia mendampingi saya. Tidak hanya memberi cahaya, tapi juga mengarahkan perjalanan saya ketika saya tersesat. Saya sangat sedih ketika siang menjadi gelap seperti sekarang, ketika kunang-kunang tersebut masih terbang mencari makna. Saya ingin belajar bercahaya sepertinya. Saya ingin belajar terbang sepertinya. Maka saya telah menetapkan, perjuangan selanjutnya adalah mengikuti kunang-kunang paling setia itu.

Dua bulan sebelum pergantian tahun. Sungguh, semoga menjadi waktu yang tepat untuk mengakhiri. Terima kasih, kunang-kunang.

Dipeluk Awan

Pada zaman ini, manusia mungkin bergerak lebih cepat. Seperti pesawat. Karena hasrat. Apalagi dengan hasrat yang tak terkendali. Tabrak sana tabrak sini tanpa memahami kenapa mereka harus menabraki. Dan kadang, tak mau juga henti.

Pada zaman ini, manusia mungkin tidak lebih punya hati. Seperti keji. Bagi sebagian orang, nomor satu adalah materi. Mengalahkan nurani dan intelejensi. Adil dan sehat bukan lagi harga mati. Gerak dan kerumunan disponsori emosi.

Untuk semua kekacauan di dunia..

Kamu datang. Membuatku lebih tenang, tanpa kehilangan mimpi. Membuatku sadar bahwa mungkin batasku terlewat. Mengapresiasi kehadiranku di dunia. Memberikanku kejutan hidup yang sangat berarti. Memberikan kasih dan sayang terdalam yang pernah aku rasakan.

Pun kamu terus berjuang. Untuk semua yang kau anggap berarti. Dirimu, keluargamu, temanmu, dan impianmu. Hidup mungkin pernah mencacimu, mengalahkanmu, dan membuatmu jatuh. Tapi kamu bukan seorang yang lemah. Kamu pun tidak pernah berhenti bergerak. Kamu terus belajar. Kamu terus menggapai. Sambil mempertahankan kewarasan rasa dan nalar hidupmu. Dan aku akan terus meyakinkanmu bahwa hidup akan memberikanmu lebih ketika kamu menjadi “manusia”.

Terima kasih atas semua keindahan yang kamu buat dalam hidup. Aku sayang.

Fitri

Namanya Molly. Nafila dan saya melihat dia sedang menyeberang perempatan jalan menuju pintu masuk tol. Dan inilah sedikit catatan kehidupan kami bersama Molly..atau Fitri.

Saat anjing ini melintas di jalanan, kami sempat melanjutkan perjalanan sembari meyakinkan diri kami langkah apa yang seharusnya dilakukan. Kembali putar balik untuk memungutnya atau lurus ke depan dan tidak hirau akan dia. Kami putuskan untuk putar balik.

Lalu Nafila melihat dengan cermat, si anjing sedang duduk di tepi jalan masuk tol. Kami parkir mobil di tepi jalan. Setelah menengok kanan dan kiri, Nafila bergegas lari dari kursi untuk menolong si anjing yang sedang kesepian. Saya, mengamankan si mobil di tepi jalan.

Kami bawa Molly. Kami beri makan pertolongan pertama dan malam itu juga dia dimandikan. Kami putuskan untuk merawat dia sementara. Kami juga langsung mencari cara untuk mencarikan kawan yang bisa dan mau mengadopsi Molly. Syukurnya, salah satu teman telah bersedia untuk mengadopsinya. Tapi harus menunggu 3 hari lagi sebelum teman kami bisa mengambil Molly. Kesepakatan terjadi malam itu juga.

Beberapa kawan kami juga ikut membantu. Mencarikan kontak shelter anjing di kota sampai merekomendasikan akun media sosial untuk bisa kami hubungi.

Hari berikutnya hampir kami habiskan untuk mengurus Molly. Sampai akhirnya tiba saatnya Molly kami bawa ke petshop untuk dimandikan dan dirapikan bulunya.

Tapi sebelum itu, kami berputar-putar di suatu kompleks perumahan mewah di dekat tempat Molly kami temukan. Siapa tahu pemilik aslinya bertempat tinggal disana. Lalu kami masuk dari satu gang ke gang lainnya dan melaporkannya ke satpam. Masih nihil.

Akhirnya kami berangkat ke petshop. Tibalah waktunya Molly untuk dirawat. Sembari penunggu prosesnya selesai, kami berkelana untuk kemudian menikmati makan siang.

Tak disangka, momen haru menghampiri kami di perjalanan. Ada seseorang yang menghubungi Nafila dan mengaku sebagai pemilik asli Molly. Kami sedih, namun bahagia. Molly sudah menyita perhatian dan kehidupan kami selama dua hari belakangan. Lalu, saat itu, kami sadar bahwa dia akan kembali jauh dari kami. Tapi dia juga kembali dekat dengan tuannya. Pemilik Molly akan menghampiri Molly siang itu juga. Ibarat nafas, oksigen yang kami hirup tiba-tiba menipis. Membayangkan hari-hari ke depan tanpa Molly.

Akhirnya pemilik Molly datang. Theo namanya. Menurut dia, Molly mungkin ngikut anjing lain, sehingga dia lepas jauh dan keluar dari perumahan. Molly sangat girang waktu Theo datang. Saat itu kami teryakinkan, Theo adalah pemilik aslinya. Semoga saja.

Akhirnya dengan berat hati kami harus rela melepas Molly. Kami juga menghubungi teman yang ingin mengadopsi Molly dan memberitahunya tentang perkembangan nasib Molly.

Kami, sampai sekarang, terkadang masih suka menyebut namanya. Berlagak memanggilnya. Dan mungkin masih bertanya sambil membayangkan apa yang dilakukan Molly saat ini.

Terima kasih, Molly. Kami jumpa denganmu malam hari saat Idul Fitri. Mungkin darimu, kami telah diajarkan oleh Yang Maha Kuasa makna dari “fitri” yang sesungguhnya, yang teramat spesial bagi kami. Oleh karena itu, kami memberimu nama “Fitri” di malam kita bertemu. Sampai akhirnya kami tahu nama aslimu, “Molly”. Sampai jumpa lagi.

Sujud

Angkuh dia berdiri
Berdasi dan rapi
Jago presentasi
Sosok berintelejensi

Dia datang
Individu yang bergelimang
Uangnya melayang-layang
Tingkah pun sembarang

Dasar preman jalan
Kasar kata dan tindakan
Lusuh perawakan
Angka merah peradaban

Sudah lama
Malaikat tanya
Kepada Sang Pencipta
Kenapa ada manusia

Sudah lama
Sistem sosial direkayasa
Oleh penguasa
Yang merasa berbudi dan berbudaya

Tapi tetap sama semua..

Lalu inilah Jodi
Ya, tokoh utama Filosofi Kopi
Yang selalu mencari
Cita rasa kopi sejati

Ternyata rasa asli
Bukan berasal dari biji
Tapi juga cara menikmati
Yang mengubah cara menyikapi

Agar ke depan
Makna selalu diberikan
Lalu bisa memanusiakan
Untuk sujud kepada keutamaan


17.42
oranye sore
-pafirus-

Kepada Yang Terhormat

Kepada Yang Terhormat: Kapital

Apa kabar?
Kebanyakan manusia memanggil Anda sebagai kekayaan, kebahagiaan, standar ukuran
Beberapa orang menganggap Anda sebagai rezeki, nikmat Tuhan, kemuliaan, keberuntungan
Ada juga yang menyebut Anda sebagai gaji, upah, ongkos, untung, modal
Lalu yang lain suka menjadikan Anda sebagai tujuan hidup, alat produksi, atau bahkan berhala

Izinkan saya mengucapkan terima kasih
Kepada Tuhan, kepada semesta, kepada orang tua, dan kepada diri sendiri
Sejauh ini saya rasa saya berhasil
Untuk tidak hanyut dalam rayuan Anda yang mendayu
Lambaian Anda yang memanggil dan membayang

Saya harus akui Anda sangat hebat
Anda bisa mengubah diri Anda menjadi sebuah paham hidup
Membentuk relasi manusia dengan materi
Yang kadang, manusia pun kehilangan kedaulatan atas dirinya sendiri
Membuat manusia mengais arti, bahkan eksistensi

Anda tahu kebahagiaan hakiki saya yang berkaitan dengan Anda?
Ketika Anda bekerja untuk saya, dan bukan sebaliknya
Maka, terima kasih telah bekerja untuk saya
Memberikan ruang bagi manusia-manusia agar berkembang
Saya berharap hubungan kita akan terus seperti ini

-pafirus-

undefined
undefined
undefined
undefined
undefined

Tentangmu

Hari-hari ini aku menemui kesulitan,
Sungguh tak habis pikirku,
Ku tarik ingatan,
Ku bedah buku-buku

Aku ingat,
Kau lah sang penolong,
Tapi kau bukan malaikat,
Yang patuh dengan karsa kosong

Aku tahu,
Dirimu bak seorang pejuang,
Tapi kau bukan serdadu,
Yang patuh karena tak tahu caranya menang

Sulit benar mengenaimu,
Abstraksimu mempesona,
Rumit sekali tentangmu,
Sukar kubuat sederhana

Kalau begitu,
Biarkan kusampaikan apa adanya,
Tentangmu,
Yang menenangkan

Maka aku pun tak lanjut menulis,
Biar semua menjadi serba mengejutkan,
Karena kamu dan aku bukan tentang garis,
Tapi kita yang saling menemani dan menemukan

Itu sedikit dariku,
Tentangmu

—– pafirus —–

Sapu Jagad

Beberapa kali orang bilang saya idealis. Bahkan terlalu idealis. Tapi, saya cuek. Karena menurut saya semua orang itu idealis. Tapi dengan ide atau gagasannya masing-masing.

Mungkin, sebagaimana seringkali terpasung di pemahaman kita, konstruksi sosial budaya kita tentang idealisme dan idealis menjadikan seorang idealis sangat jauh dari bumi dan orang-orang yang hidup di permukaannya. Seorang idealis hanya bersahabat dengan langit dan kebaikan-kebaikan surgawi. Oleh karenanya, dunia seorang idealis seringkali punya jarak –dan bahkan sangat jauh- dengan dunia manusia -yang katanya lebih realistis-. Singkatnya, ideal berarti tidak nyata (riil/real). Karena tidak nyata, gagasan bahwa “hidup adalah mati dan mati adalah hidup” terkadang menjadi tidak realistis.

Tapi, bukankah kenyataan terbentuk dari ide dan gagasan manusia? Sederhananya, kita ini hidup di dalam ide/gagasan orang lain akan kehidupan. Atau kita punya pilihan lain. Kita bisa berusaha untuk menciptakan kehidupan sesuai dengan ide/gagasan kita. Hemat saya, sebenarnya orang idealis atau bukan itu berbeda sangat tipis sekali. Letak perbedaannya terangkum dalam satu kata, yakni “keberanian”. Maka ciri pertama, dan bahkan mungkin stereotipikal oleh masyarakat, orang idealis adalah dia memiliki keberanian untuk menjamah ranah praksis dari ide/gagasan/konsep yang dia yakini ada/eksis. Mari kita baca sejarah perjalanan perjuangan tokoh-tokoh besar Indonesia dan mancanegara. Mereka adalah idealis. Bahkan ide/gagasan mereka melampaui zaman mereka sendiri. Mereka yang membentuk kehidupan, dan mereka memimpin kehidupan ini diarahkan kemana.

Saya juga tidak tahu persis, kenapa dan kapan masyarakat memiliki pola pikir seakan-akan idealisme itu sangat tidak kompatibel dengan kehidupan orang-orang bumi. Seakan-akan seorang idealis tidak bisa hidup dalam kehidupan yang realistis dan kalaupun bisa hidup dan berjuang, pasti berakhir bak tragedi. Satu hal tentang tragedi. Tragedi adalah genre yang dibenci oleh kebanyakan orang yang mengalaminya, tapi disukai oleh kebanyakan orang yang hanya membaca/melihatnya.

Kita, manusia, memang ditakdirkan menjadi bermacam-macam. Kita juga ditakdirkan memainkan peran masing-masing. Tidak bisa disamakan. Tengoklah sejarah kehidupan manusia pertama sampai abad ke dua puluh satu ini. Apakah peran kita semua sama dalam hidup yang fana?

Maka itulah yang saya percayai. Pendidikan tidak bisa disamaratakan. Ide dan gagasan masing-masing anak selalu dan pasti akan berbeda. Tidak heran jika semakin dewasa, anak-anak tersebut semakin menampakkan perbedaan masing-masing dari mereka. Bukankah penyakitnya justru ada di kita, para pendidik? Terutama yang selalu ingin menyamaratakan semua aspek dalam pendidikan.

Seseorang pernah berujar pada saya, bahwa kita tidak bisa memaksakan kehidupan kita kepada orang lain. Tepat. Seratus persen akurat. Maka dari itu, apa yang membuat saya menyukai seseorang adalah membanjirnya ide/gagasan dari orang tersebut. Orang yang memiliki ide/gagasan adalah orang yang berani hidup. Ia tidak mati dalam hidupnya, dan tidak berusaha menghidup-hidupkan matinya.

Begitu pula dengan predikat “sarjana”. Bukankah predikat ini adalah sesuatu yang istimewa? Bukankah predikat ini disematkan karena kita-kita ini “dianggap” sudah layak “terjun dan bekerja untuk masyarakat” karena sudah menerima dan membuat ide/gagasan-gagasan?

Lalu, kenapa kemiskinan masih ada? Apakah jangan-jangan, insan mulia yang tersemat predikat pendidikan tinggi tersebut justru sibuk keluar dari kemiskinan?

Sungguh, saya bukan hendak memaksakan pemikiran saya. Karena pemikiran kita ini hanya milik Yang Kuasa. Tapi, karena manusia memiliki peran dan kehidupan yang berbeda-beda, maka saya mencoba mengambil peran untuk memberikan pertanyaan kepada kita semua. Ya, peran saya hanya itu. Memberi pertanyaan. Yang seringkali, saya sendiri belum bisa menjawab dengan lugas.


Pak, keringatmu tiada yang tahu,

Bulir nasi yang kau suap ke mulut,

Satu..satu..,

Maksudnya, biar tenaga kembali tersulut

Maafkan kami, manusia yang kadang tersadar

Kadang terkapar

Kadang justru terlantar

Bapak adalah cerminan sahaja diri,

Kerja bapak dalam sepi,

Sungguh hanya disiapkan materi,

Tanpa dilebihkan apresiasi

Beruntunglah mereka yang ingat mati,

Karena kadang hidup itu kontradiksi,

Banjir ideasi,

Namun gersang aplikasi

Pak, kami pun kadang jengah,

Melihat manusia yang terlalu polah,

Tapi bersabarlah,

Selalu ingatlah,

Damaimu, lebih indah

*untuk bapak tukang sapu pinggir jalan raya, yang kerjanya sering terlupa oleh kita

“Buk, maringene aku wisuda..”

Salah satu postulat hidup yang saya kunyah renyah sampai saat ini adalah konsep “sekali seumur hidup”.

Dulu, dan bahkan sampai sekarang, banyak orang yang menganggap bahwa prosesi wisuda adalah momen sekali seumur hidup. Saat (mungkin) kita berseloroh pada dunia dengan lantang tentang betapa berdayanya kita setelah ditempa di kampus yang diampu sivitas akademika. Ketika air mata orang tua mulai menyelinap keluar diam-diam, rindu bertemu rasa bangga. Waktu ketika setiap belasan menit sangat pas untuk dibingkai memori kamera berlensakan telanjang mata. Momen untuk dikenang, mungkin sampai sepanjang masa.

Namun sekarang, wisuda mulai turun kasta. Dia ada dimana-mana, di jenjang apa saja. Jadi, air mata yang menyelinap tadi sekarang mulai enggan keluar. Karena rasa bangga sekarang tidak terlalu spesial. Rasanya juga sekarang ini terlalu banyak yang terekam kamera. Dan karena terbiasa hidup dalam alunan bahagia yang semakin banyak itu tadi, membuat orang mengurangi tuntutan mereka terhadap perjuangan.

Maka, mungkin yang berharga bukanlah wisuda atau kelulusan. Mungkin, itu adalah perjuangan.

*masih memikirkan cerita tentang seseorang yang kehilangan ibunya. Ibunya yang mendamba kelulusan dan wisuda. Sampai hembus nafas akhirnya.

Rasa

Aku bersyukur atas cepatnya semesta bekerja untuk kita,

Dia banting tulang siang malam tanpa cela,

Merancang strategi untuk membuat kita bersua setiap harinya.

 

Aku bersyukur atas padu padannya batin kita,

Seolah tidak percaya bahwa semua ini nyata,

Ragu yang tumbuh masih kalah dengan dalamnya rasa.

 

Aku berterima kasih pada Tuhan yang merestui semua,

Kisah kasih ini semoga bisa selamanya,

Sampai usia kita penuh dengan makna.

 

Bangkalan,

1 Januari 2020